Sabtu, 02 Juli 2016

ASKEP NYERI AKUT BPH (BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA)



ASKEP BPH


A.    Konsep Benigna Prostate Hiperplasia (BPH)
1.     Definisi BPH
Benigna Prostat Hiperplasia adalah pembesaran jinak kelenjar prostat yang disebabkan oleh hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar atau jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika (Padila, 2012, p.228). Sedangkan menurut Nurarif dan Kusuma (2015, p.91) Benigna Prostat Hiperplasia adalah suatu kondisi yang sering terjadi sebagai hasil dari pertumbuhan dan pengendalian hormon prostat.
2.     Etiologi
Menurut Purnomo (2011, p.124) penyebab hiperplasia prostat masih belum diketahui secara pasti, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua). Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah : a) teori dihidrotestosteron yaitu peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen akan menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasia, b) adanya ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron yaitu adanya proses degeneratif atau penuaan pada pria yang mengakibatkan peningkatan hormon estrogen dan penurunan hormon testosteron, sehingga memicu terjadinya hiperplasia stroma pada prostat, c) interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat yaitu peningkatan kadar epidermal growth factor atau fibroblash growth factor dan penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasia  stroma dan epitel dari kelenjar prostat, d) berkurangnya kematian sel (apoptosis) yaitu estrogen yang meningkat akan menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat, dan e) teori stem sel yaitu sel stem yang meningkat akan mengakibatkan poliferasi sel transit dan memicu terjadi BPH.
3.     Patofisiologi
Menurut Purnomo (2011, p.126) pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika yang menghambat aliran urin sehingga terjadi peningkatan tekanan intravesika. Dalam  mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat untuk melawan tahanan urin yang tertampung di dalam buli-buli. Kontraksi yang terus menerus tersebut dapat menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan diventrikel buli-buli. Dari perubahan struktur pada buli-buli tersebut, pasien merasakan sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus.
Tekanan intravesika yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli sampai ke muara ureter sehingga dari tekanan ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko-ureter. Keadaan ini jika terus berlangsung akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akan menjadi gagal ginjal. Obstruksi yang diakibatkan oleh hiperplasia prostat benigna, tidak hanya disebabkan oleh adanya massa prostat yang menyumbat uretra posterior, tetapi juga disebabkan oleh tonus otot polos yang ada pada stroma prostat, kapsul prostat, dan otot polos pada leher buli-buli yang memiliki saraf serabut simpatis yang berasal dari nervus pudendus. Dalam hal ini, terjadi peningkatan perbandingan  rasio komponen stroma terhadap epitel yaitu 4:1. Hal ini menyebabkan peningkatan tonus otot polos prostat bila dibandingkan dengan prostat normal, sehingga massa prostat yang menyebabkan obstruksi komponen statik, sedangkan tonus otot polos yang merupakan komponen dinamik sebagai penyebab obstruksi prostat.
4.     Komplikasi
Menurut Wijaya dan Putri (2013, p.102) komplikasi yang dapat terjadi pada BPH adalah:
a.      Retensi kronik dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, gagal ginjal.
b.     Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu miksi.
c.      Hernia atau hemoroid.
d.     Terbentuknya batu karena selalu terdapat sisa urin.
e.      Hematuria.
f.      Sistitis dan Pielonefritis.
5.     Gambaran Klinis
Menurut Nursalam (2009, p.127) obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar saluran kemih.
a.       Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS)
Keluhan ini terdiri atas gejala voiding, storage, dan pasca miksi. Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih bagian bawah, beberapa ahli atau organisasi urologi membuat sistem skoring secara subyektif yang dapat dihitung sendiri oleh pasien yang dianjurkan oleh WHO yaitu Skor Internasional Gejala Prostat atau I-PSS (International Prostatic Symptom Score). Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi otot buli-buli untuk megeluarkan urin. Pada suatu saat, otot buli-buli mengalami kepayahan (fatique) sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk urin akut.
Timbulnya dekompensasi buli-buli biasanya didahuli oleh beberapa faktor pencetus, antara lain : (1) volume buli-buli tiba-tiba terisi penuh, yaitu pada cuaca dingin, menahan kencing terlalu lama, mengonsumsi obat-obatan dan minuman yang mengandung diuretikum, (2) massa prostat tiba-tiba membesar, yaitu setelah melakukan aktivitas seksual atau mengalami infeksi prostat akut, dan (3) setelah mengonsumsi obat yang dapat menurunkan kontraksi otot detrusor atau yang dapat mempersempit leher buli-buli, antara lain golongan antikolinergik atau adrenergik alfa.
b.     Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (tanda dari hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda infeksi atau urosepsis.
c.      Gejala di luar saluran kemih
Pada buli-buli yang terisi urin penuh dan teraba massa kistus di daerah supra simfisis menandakan terjadi retensi urin. Kadang-kadang didapatkan urin yang menetes tanpa disadari oleh pasien yaitu merupakan pertanda dari inkontinensia paradoksa.
 
6.     Pemeriksaan Fisik
Menurut Purnomo (2011, p.129) pada pemeriksaan fisik pembesaran prostat dilakukan pemeriksaan colok dubur. Pada pemeriksaan colok dubur diperhatikan: a) tonus sfingter ani atau refleks bulbo-kavernosus untuk menyingkirkan kelainan buli-buli neurogenik, b) mukosa rektum, dan c) keadaan prostat, antara lain kemugkinan adanya nodul, krepitasi, konsistensi prostat, simetri antar lobus dan batas prostat. Colok dubur pada pembesaran prostat benigna menunjukan konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul.
7.     Pemeriksaan Penunjang
Menurut Purnomo (2011, p.130) pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosa Hiperplasia Prostat Benigna (BPH) antara lain:
a.      Laboratorium, meliputi pemeriksaan pada sedimen urin untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi pada saluran kemih. Pemeriksaan kultur urin berguna dalam mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan. Pemeriksaan gula darah untuk mencari kemungkinan adanya penyakit diabetes melitus yang dapat menimbulkan kelainan persyarafan pada buli-buli (buli-buli neurogenik). Apabila dicurigai adanya keganasan prostat perlu diperiksa kadar penanda tumor prostate specific antigen (PSA).
b.     Faal Ginjal, yaitu pemeriksaan untuk mencari kemungkinan adanya penyulit yang mengenai saluran kemih bagian atas.
c.      Pencitraan, foto polos perut digunakan untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih, adanya batu/kalkulosa prostat dan juga dapat menunjukkan bayangan buli-buli yang penuh terisi urin, yang merupakan tanda dari suatu retensi urin. Pemeriksaan USG dilakukan melalui trans abdominal atau trans abdominal ultrasonography (TAUS) dan trans uretra atau trans uretral ultrasonography (TRUS). Dari TAUS diharapkan mendapat informasi mengenai: (1) perkiraan volume (besar) prostat, (2) panjang protrusi prostat ke buli-buli atau intra prostatic protrusion (IPP), (3) mungkin kelainan pada buli-buli, (4) menghitung residu urin pasca miksi, atau (5) hidronefrosis atau kelainan ginjal akibat obstruksi prostat. Pada pemeriksaan TRUS dicari kemungkinan adanya fokus keganasan prostat berupa area hipoekoik dan kemudian sebagai penunjuk (guidance) dalam melakukan biopsi prostat. Pemeriksaan IPP diukur dari ujung tonjolan (protrusi) prostat di dalam buli-buli hingga dasar (basis) sirkumferensi buli-buli. Derajat 1 besarnya ≤ 1,5 mm, derajat 2 besarnya ≥ 5-10 mm, dan derajat 3 besarnya ≥ 10 mm. Besarnya IPP berhubungan dengan derajat obstruksi pada leher buli-buli (BOO), jumlah urin sisa pasca miksi, dan volume prostat. Artinya pasien dengan derajat IPP rendah, tidak menunjukkan urin residu yang bermakna (<100 ml), dan tidak menunjukkan keluhan yang nyata sehingga tidak memerlukan terapi atau pembedahan. Sebaliknya pada pasien yang menunjukkan IPP derajat tinggi terbukti mempunyai urin sisa >100 ml, dengan keluhan yang bermakna dan pasien seperti ini membutuhkan terapi yang lebih agresif.
d.     Pemeriksaan lain, pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara mengukur: (1) residu urin yang merupakan jumlah sisa urin setelah miksi dengan dihitung menggunakan katerisasi setelah miksi atau ditentukan dengan USG setelah miksi, (2) pancaran urin atau flow rate yaitu menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat uroflometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin. Pemeriksaan yang lenih teliti adalah dengan pemeriksaan urodinamika.

8.     Penatalaksanaan
Menurut Purnomo (2011, p.132) tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan medik seperti pasien yang hanya mengeluh LUTS ringan, dimana dapat sembuh sendiri tanpa terapi apapun atau hanya dengan nasihat dan konsultasi saja. Namun diantara mereka akhirnya ada yang membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan medik yang lain karena keluhannya semakin parah. Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah memperbaiki keluhan miksi, meningkatkan kualitas hidup, mengurangi obstruksi infravesika, mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, mengurangi volume residu urin setelah miksi dan mencegah progresifitas penyakit. Terapi yang dapat dilakukkan adalah sebagai berikut:
a.      Watchful waiting, pilihan tanpa terapi untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7 yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien hanya mendapatkan informasi yang dapat memperburuk keluhan seperti jangan minum alkohol dan kopi setelah makan malam, kurangi konsumsi makanan atau minuman yang dapat mengiritasi buli-buli (kopi atau cokelat), batasi minum obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin, kurangi makanan pedas asin, dan jangan menahan kencing terlalu lama.
b.     Medikametosa, tujuan medikametosa antara lain: (1) mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi infravesika dengan obat penghambat adrenergik alfa, (2) mengurangi volume prostat sebagai komponen statik dengan cara menurunkan kadar hormon testosteron atau dihidotestosteron (DHT) melalui penghambat 5α-reductase.
c.      Pembedahan,  menurut Sjamsuhidajat (2010, p.331) pembedahan merupakan tindakan pengobatan yang menggunakan cara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani. Pembedahan umumnya dilakukan penyayatan untuk membuka bagian tubuh, setelah itu dilakukan perbaikan yang diakhiri dengan penutupan jahitan luka yang  menimbulkan masalah nyeri. Menurut Purnomo (2011, p.135) penyelesaian masalah pasien hiperplasia prostat jangka panjang yang paling baik saat ini adalah pembedahan medis, karena terapi obat dan terapi non invasif lainnya membutuhkan waktu lama untuk melihat hasil terapi. Pembedahan prostat direkomdasikan pada pasien yang tidak menunjukkan perbaikan dalam medikamentosa, mengalami retensi urin, infeksi saluran kemih, hematuria, gagal ginjal dan penyulit lainnya. Hal ini dapat dilakukkan dengan:
1)     Pembedahan Prostatektomi Terbuka
Pembedahan ini dilakukan untuk prostat yang berukuran besar (>100 gram) dengan metode Millin yaitu melakukan enuklerasi kelenjar prostat melalui pendekatan retropubik infavesika, Freyer melalui pendekatan suprapubik transvesika atau transperineal.
2)     Pembedahan Endourologi
Pembedahan ini banyak dilakukan dengan tenaga elektrik yaitu : a) TURP (Transurethal Resection of the Prostate) dengan menggunakan cairan non ionic sebagai  irigan (pembilas) agar daerah yang direseksi tetap terang, tidak tertutup oleh darah dan tidak ada hantaran listrik saat pembedahan, b) TIUP ( Transuerthal Insivon of the Prostate) yaitu pembedahan insisi pada kelenjar prostat yang belum terlalu besar, c) BNI (Bladder Neck Incision) yaitu pembedahan pada leher buli-buli, d) Elektrovaporisasi Prosstat, yaitu dengan roller ball spesifik dan mesin diatermi yang cukup kuat untuk membuat vaporisasi kelenjar prostat, d) Laser Prostatektomi yaitu menggunakan energi laser Nd:YAG, Holmium:YAG, KTP:YAG, dan diode.
d.     Tindakan invasif minimal, tindakan ini ditujukan untuk pasien yang mempunyai resiko tinggi terhadap pembedahan seperti: Termoterapi, Transurethral Needle Ablation of the Prostate (TUNA), pemasangan stent (prostacath), High Intensity Focused Ultrasound (HIFU), dan diatasi dengan Transurethral Tallon Dilatation (balon).
B.    Konsep Nyeri Akut Post Operasi BPH
Nyeri akut merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang aktual atau potensial, atau digambarkan dengan istilah seperti (International Association for Study of Pain); awitan yang tiba-tiba atau perlahan dengan intensitas ringan sampai berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau dapat diramalkan dengan durasinya kurang dari enam bulan (Herdman, 2015, p.469). Nyeri akut terjadi setalah cedera akut, penyakit, atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat) dan berlangsung untuk waktu singkat (Potter dan Perry 2006, p.1510). Menurut Potter dan Perry (2006, p.1511) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi nyeri yaitu usia, jenis kelamin, kebudayaan, perhatian, ansietas, keletihan, dan dukungan keluarga atau  sosial.
Nyeri akut post operasi BPH terjadi setelah dilakukan pembedahan dimana terjadi iritasi mukosa kandung kemih atau terputusnya jaringan sehingga merangsang saraf diameter kecil menuju aferen yang mengakibatkan nyeri. Mekanisme nyeri akut tersebut memiliki ciri khas yang terjadi karena luka pada jaringan yang diperparah oleh sensitiasi sistem saraf perifer maupun sistem saraf sentral, yaitu intensitas nyeri berubah sesuai dengan proses peradangan, penyembuhan, trauma dan gerakan (Nursalam, 2009, p.142). Batasan karakteristik dari nyeri akut yaitu pasien mengeluh nyeri dengan menggunakan standar instrumen nyeri maupun standar skala nyeri, perubahan pola tidur, perubahan posisi untuk menghindari nyeri, ekspresi wajah nyeri, perubahan selera makan, sikap melindungi area nyeri, perilaku distraksi, perubahan pada parameter fisiologi, dilatasi pupil, fokus pada diri sendiri. Faktor yang berhubungan dengan nyeri akut adalah agen injuri fisik (pembedahan, trauma, luka bakar, amputasi, abses), agen injuri biologis (infeksi, iskemia, neoplasma), agen injuri kimiawi (luka bakar, kapsaisin, metilen klorida, agens mustard) (Herdman, 2015, p.469).
Menurut Koizer (2011, p.701) banyak metode yang digunakan untuk menilai nyeri antara lain : Wong Beker FACE Rating Scale,  Skala nyeri numerik.
Gambar 2.2. Wong Beker FACE Rating Scale
Keterangan :
0: Tidak sakit        3-4: Agak mengganggu     7-8: Sangat mengganggu
1-2: sedikit sakit   5-6: Mengganggu aktivitas  9-10: Tak tertahan
Gambar  2.3. Skala Numerik
Keterangan :
0: Tidak nyeri       1-3: Nyeri ringan        4-6 : Nyeri sedang
7-9 : Nyeri berat terkontrol          10: Nyeri sangat hebat
C.    Pengelolaan Nyeri Akut pada Post Operasi BPH
Menurut Potter dan Perry (2006, p.1515) pengelolaan keperawatan pasien nyeri akut dilakukukan dengan pendekatan penatalaksanaan nyeri secara sistematis sehingga dapat memahami nyeri yang dirasakan klien dan dapat memberikan terapi yang sesuai. Keberhasilan penatalaksanaan nyeri akut tergantung pada terbinanya hubungan positif antara petugas kesehatan, klien dan keluarga. Cakupan penatalaksanaan nyeri akut bukan hanya sekedar berupaya untuk menghilangkan nyeri, tetapi menekankan pada upaya untuk meningkatkan kualitas hidup klien dan kemampuan untuk bekerja secara produktif, sehingga berfungsi secara normal dalam keluarga dan masyarakat.
Menurut Wilkinson dan Ahern (2012, p.531) pengelolaan keperawatan  nyeri akut post operasi pembedahan dilakukan dengan kolaborasi terutama pemberian analgetik untuk meredakan nyeri yang dirasakan pasien. Intervensi keperawatan yang dilakukan adalah mengajarkan pasien untuk melakukan manajemen nyeri secara mandiri seperti teknik relaksasi tarik nafas panjang saat terjadi nyeri, terapi musik, terapi distraksi, terapi bermain aktivitas, kompres hangat atau dingin.
D.    Asuhan Keperawatan Nyeri Akut pada Post Operasi BPH
1.     Pengkajian
Menurut Kozier (2011, p.357) pengkajian dilakukan dengan wawancara atau anamnesa untuk mendapatkan data subjektif  dan data objektif , serta pemeriksaan fisik yang meliputi:
a.      Data biografi
Data biografi meliputi nama, alamat, usia, jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan, agama, pembiayaan dari klien.
b.     Keluhan utama
Keluhan yang paling dirasakan klien saat ini yaitu nyeri akut.
c.      Riwayat penyakit saat ini
Keluhan nyeri yang dirasakan saat ini dengan pengkajian nyeri (P: Provokasi atau penyebab, Q: Kualitas, R: Region, S: Skala, T: Timing).
d.     Riwayat masa lalu
Riwayat penyakit yang dialami saat masa kecil atau masa lalu, imunisasi, alergi, kecelakaaan, riwayat hospitalisasi dan  medikasi.
e.      Riwayat penyakit keluarga
Riwayat kesehatan keluarga yang menurun seperti penyakit yang diturunkan oleh anggota keluarga.
f.      Gaya hidup
Kebiasaan klien, diet, pola tidur, pola aktivitas sehari-hari, rekreasi.
g.     Data sosial
Hubungan dengan keluarga, teman, tetangga, dan masyarakat.
h.     Pemeriksaan Fisik
Menurut Koizer (2010, p.715) pengkajian kesehatan fisik yang menyeluruh dilakukan dari kepala sampai ke bawah secara sistematis (head to toe) yang meliputi: Survei umum, TTV, Kepala ( rambut, kulit kepala, mata, telinga, hidung, mulut, saraf kranial), Leher (otot, kelenjar tiroid, arteri karotis, vena leher), Ekstermitas atas (kulit dan kuku, kekuatan tonus otot, rentang gerak sendi, reflek tendon bisep, sensasi), Dada dan punggung (bentuk dada, paru-paru, jantung, medula spinalis, payudara dan aksila), Abdomen (kulit, bunyi abdomen, perkusi abdomen), Genetalia, Anus dan rektum, Ekstermitas bawah.

2.     Perumusan Masalah
Masalah keperawatan nyeri yang sering dikeluhan pada pasien post operasi BPH adalah nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik pasca pembedahan. Diagnosa ini ditandai dengan perilaku ekspresif (gelisah, merintih, menghela nafas panjang), perilaku distraksi, respon autonomik, perubahan tonus otot, gangguan tidur (Wilkinson & Ahern, 2012, p.530).
3.     Perencanaan
Menurut Wilkinson dan Ahern (2012, p.532), NOC (Nursing Outcome Classification) untuk nyeri akut pada pasien post operasi BPH adalah pain level dan pain control. Tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan adalah diharapkan nyeri akut dapat berkurang atau hilang, dengan kriteria hasil yang diharapkan yaitu:

Tabel 2.1
Kriteria Hasil dan Skala Indikator dalam Perencanaan Masalah Nyeri Akut.

No.
Indikator
Skala
Awal
Tujuan
1.
2.
3.
Mengenali awitan nyeri
Menggunakan tindakan pencegahan
Melaporkan nyeri dapat dikendalikan

2
2
2
5
5
5

Skala indikator ada 5 yaitu 1-5 (tidak pernah menunjukkan, jarang menunjukkan, kadang menunjukkan, sering menunjukkan, dan selalu menunjukkan.
NIC (Nursing Intervention Classification) untuk nyeri akut pasien post operasi BPH yaitu : pain management.
a.      Lakukan pengkajian nyeri secara komperhensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.
b.     Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.
c.      Bantu keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan.
d.     Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan.
e.      Kurangi faktor presipitasi nyeri.
f.      Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi dan non farmakologi).
g.     Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi.
h.     Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.
i.       Evaluasi keefektifan kontrol nyeri.
j.       Tingkatkan istirahat.
k.     Kolaborasi dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan  nyeri tidak berhasil.
4.     Implementasi
Menurut Koizer (2010, p.429) implementasi adalah fase ketika perawat mengimplementasikan intervensi keperawatan. Dari perencanaan nyeri akut berhubungan dengan post operasi BPH yaitu NIC : pain management penulis melakukan implementasi sebagai berikut:
a.      Melakukan pengkajian nyeri dengan skala nyari dengan hasil PQRST (Provokatif, Quality, Region, Scale, Timing).
b.     Mengobservasi reaksi nonverbal dan ketidaknyamanan.
c.      Membantu keluarga untuk mendukung proses penyembuhan klien.
d.     Mengontrol lingkungan agar pasien merasa aman, nyaman dan tenang.
e.      Mengajarkan relaksasi dan terapi non farmakologi tarik nafas dalam dan terapi musik untuk mengurangi rasa nyeri serta memberikan terapi farmakologi sesuai terapi dokter.
f.      Memberikan kesempatan klien untuk istirahat dan tidur.
g.     Mengobservasi kembali nyeri yang dirasakan klien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
5.     Evaluasi
Menurut Wilkinson dan Ahern (2012, p.533), kriteria evaluasi nyeri akut berhubungan dengan post operasi BPH adalah sebagai berikut:
a.      Memperlihatkan pengendalian nyeri yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut : (skala 1 : tidak pernah), (skala 2 : jarang), (skala 3 : kadang-kadang), (skala 4 : sering), (skala 5 : selalu).
b.     Menunjukkan tingkat nyeri yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut : (sebutkan 1-10 : tidak sakit, sedikit sakit, agak mengganggu, mengganggu aktivitas, sangat mengganggu, tak terhankan): ekspresi wajah saat nyeri, gelisah atau ketegangan otot, durasi episode nyeri, merintih, dan menangis).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar