ASKEP
BPH
A.
Konsep
Benigna Prostate Hiperplasia (BPH)
1.
Definisi
BPH
Benigna Prostat Hiperplasia adalah
pembesaran jinak kelenjar prostat yang disebabkan oleh hiperplasi beberapa atau
semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar atau jaringan fibromuskuler
yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika (Padila, 2012, p.228).
Sedangkan menurut Nurarif dan Kusuma (2015, p.91) Benigna Prostat Hiperplasia
adalah suatu kondisi yang sering terjadi sebagai hasil dari pertumbuhan dan
pengendalian hormon prostat.
2.
Etiologi
Menurut Purnomo (2011, p.124)
penyebab hiperplasia prostat masih belum diketahui secara pasti, tetapi
beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan
peningkatan kadar dihidrotestosteron
(DHT) dan proses aging (menjadi tua).
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat
adalah : a) teori dihidrotestosteron yaitu peningkatan 5 alfa reduktase dan
reseptor androgen akan menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat
mengalami hiperplasia, b) adanya ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
yaitu adanya proses degeneratif atau penuaan pada pria yang mengakibatkan
peningkatan hormon estrogen dan penurunan hormon testosteron, sehingga memicu
terjadinya hiperplasia stroma pada prostat, c) interaksi antara sel stroma dan
sel epitel prostat yaitu peningkatan kadar epidermal
growth factor atau fibroblash growth
factor dan penurunan transforming
growth factor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel dari kelenjar prostat, d)
berkurangnya kematian sel (apoptosis) yaitu estrogen yang meningkat akan
menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat, dan
e) teori stem sel yaitu sel stem yang meningkat akan mengakibatkan poliferasi
sel transit dan memicu terjadi BPH.
3.
Patofisiologi
Menurut
Purnomo (2011, p.126) pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra
prostatika yang menghambat aliran urin sehingga terjadi peningkatan tekanan
intravesika. Dalam mengeluarkan urin,
buli-buli harus berkontraksi lebih kuat untuk melawan tahanan urin yang tertampung
di dalam buli-buli. Kontraksi yang terus menerus tersebut dapat menyebabkan
perubahan anatomik buli-buli berupa hipertrofi
otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan diventrikel
buli-buli. Dari perubahan struktur pada buli-buli tersebut, pasien merasakan
sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan
gejala prostatismus.
Tekanan intravesika yang tinggi
diteruskan ke seluruh bagian buli-buli sampai ke muara ureter sehingga dari
tekanan ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau
terjadi refluks vesiko-ureter.
Keadaan ini jika terus berlangsung akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akan menjadi gagal ginjal. Obstruksi
yang diakibatkan oleh hiperplasia prostat benigna, tidak hanya disebabkan oleh
adanya massa prostat yang menyumbat uretra posterior, tetapi juga disebabkan
oleh tonus otot polos yang ada pada stroma prostat, kapsul prostat, dan otot
polos pada leher buli-buli yang memiliki saraf serabut simpatis yang berasal
dari nervus pudendus. Dalam hal ini, terjadi peningkatan perbandingan rasio komponen stroma terhadap epitel yaitu 4:1.
Hal ini menyebabkan peningkatan tonus otot polos prostat bila dibandingkan dengan
prostat normal, sehingga massa prostat yang menyebabkan obstruksi komponen
statik, sedangkan tonus otot polos yang merupakan komponen dinamik sebagai
penyebab obstruksi prostat.
4.
Komplikasi
Menurut
Wijaya dan Putri (2013, p.102) komplikasi yang dapat terjadi pada BPH adalah:
a. Retensi
kronik dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis,
gagal ginjal.
b. Proses
kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu miksi.
c. Hernia
atau hemoroid.
d. Terbentuknya
batu karena selalu terdapat sisa urin.
e. Hematuria.
f. Sistitis
dan Pielonefritis.
5.
Gambaran
Klinis
Menurut
Nursalam (2009, p.127) obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran
kemih maupun keluhan di luar saluran kemih.
a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS)
Keluhan
ini terdiri atas gejala voiding, storage,
dan pasca miksi. Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran
kemih bagian bawah, beberapa ahli atau organisasi urologi membuat sistem
skoring secara subyektif yang dapat dihitung sendiri oleh pasien yang
dianjurkan oleh WHO yaitu Skor Internasional Gejala Prostat atau I-PSS (International Prostatic Symptom Score).
Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi otot buli-buli untuk
megeluarkan urin. Pada suatu saat, otot buli-buli mengalami kepayahan (fatique) sehingga jatuh ke dalam fase
dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk urin akut.
Timbulnya
dekompensasi buli-buli biasanya didahuli oleh beberapa faktor pencetus, antara
lain : (1) volume buli-buli tiba-tiba terisi penuh, yaitu pada cuaca dingin,
menahan kencing terlalu lama, mengonsumsi obat-obatan dan minuman yang
mengandung diuretikum, (2) massa prostat tiba-tiba membesar, yaitu setelah
melakukan aktivitas seksual atau mengalami infeksi prostat akut, dan (3)
setelah mengonsumsi obat yang dapat menurunkan kontraksi otot detrusor atau
yang dapat mempersempit leher buli-buli, antara lain golongan antikolinergik
atau adrenergik alfa.
b. Gejala
pada saluran kemih bagian atas
Keluhan
akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas berupa
gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (tanda dari
hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda infeksi atau urosepsis.
c. Gejala
di luar saluran kemih
Pada buli-buli yang terisi urin penuh
dan teraba massa kistus di daerah supra simfisis menandakan terjadi retensi
urin. Kadang-kadang didapatkan urin yang menetes tanpa disadari oleh pasien
yaitu merupakan pertanda dari inkontinensia paradoksa.
6.
Pemeriksaan
Fisik
Menurut Purnomo (2011, p.129) pada
pemeriksaan fisik pembesaran prostat dilakukan pemeriksaan colok dubur. Pada
pemeriksaan colok dubur diperhatikan: a) tonus sfingter ani atau refleks
bulbo-kavernosus untuk menyingkirkan kelainan buli-buli neurogenik, b) mukosa
rektum, dan c) keadaan prostat, antara lain kemugkinan adanya nodul, krepitasi,
konsistensi prostat, simetri antar lobus dan batas prostat. Colok dubur pada
pembesaran prostat benigna menunjukan konsistensi prostat kenyal seperti meraba
ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul.
7.
Pemeriksaan
Penunjang
Menurut
Purnomo (2011, p.130) pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosa Hiperplasia
Prostat Benigna (BPH) antara lain:
a. Laboratorium,
meliputi pemeriksaan pada sedimen urin untuk mencari kemungkinan adanya proses
infeksi atau inflamasi pada saluran kemih. Pemeriksaan kultur urin berguna
dalam mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus menentukan
sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan. Pemeriksaan
gula darah untuk mencari kemungkinan adanya penyakit diabetes melitus yang
dapat menimbulkan kelainan persyarafan pada buli-buli (buli-buli neurogenik).
Apabila dicurigai adanya keganasan prostat perlu diperiksa kadar penanda tumor prostate specific antigen (PSA).
b. Faal
Ginjal, yaitu pemeriksaan untuk mencari kemungkinan adanya penyulit yang
mengenai saluran kemih bagian atas.
c. Pencitraan,
foto polos perut digunakan untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih,
adanya batu/kalkulosa prostat dan juga dapat menunjukkan bayangan buli-buli
yang penuh terisi urin, yang merupakan tanda dari suatu retensi urin.
Pemeriksaan USG dilakukan melalui trans abdominal atau trans abdominal ultrasonography (TAUS) dan trans uretra atau trans uretral ultrasonography (TRUS).
Dari TAUS diharapkan mendapat informasi mengenai: (1) perkiraan volume (besar)
prostat, (2) panjang protrusi prostat ke buli-buli atau intra prostatic protrusion (IPP), (3) mungkin kelainan pada
buli-buli, (4) menghitung residu urin pasca miksi, atau (5) hidronefrosis atau
kelainan ginjal akibat obstruksi prostat. Pada pemeriksaan TRUS dicari
kemungkinan adanya fokus keganasan prostat berupa area hipoekoik dan kemudian
sebagai penunjuk (guidance) dalam
melakukan biopsi prostat. Pemeriksaan IPP diukur dari ujung tonjolan (protrusi)
prostat di dalam buli-buli hingga dasar (basis) sirkumferensi buli-buli.
Derajat 1 besarnya ≤ 1,5 mm, derajat 2 besarnya ≥ 5-10 mm, dan derajat 3
besarnya ≥ 10 mm. Besarnya IPP berhubungan dengan derajat obstruksi pada leher
buli-buli (BOO), jumlah urin sisa pasca miksi, dan volume prostat. Artinya
pasien dengan derajat IPP rendah, tidak menunjukkan urin residu yang bermakna
(<100 ml), dan tidak menunjukkan keluhan yang nyata sehingga tidak
memerlukan terapi atau pembedahan. Sebaliknya pada pasien yang menunjukkan IPP
derajat tinggi terbukti mempunyai urin sisa >100 ml, dengan keluhan yang
bermakna dan pasien seperti ini membutuhkan terapi yang lebih agresif.
d. Pemeriksaan
lain, pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara
mengukur: (1) residu urin yang merupakan jumlah sisa urin setelah miksi dengan
dihitung menggunakan katerisasi setelah miksi atau ditentukan dengan USG
setelah miksi, (2) pancaran urin atau flow
rate yaitu menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung
(ml/detik) atau dengan alat uroflometri yang menyajikan gambaran grafik
pancaran urin. Pemeriksaan yang lenih teliti adalah dengan pemeriksaan
urodinamika.
8.
Penatalaksanaan
Menurut
Purnomo (2011, p.132) tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalani
tindakan medik seperti pasien yang hanya mengeluh LUTS ringan, dimana dapat
sembuh sendiri tanpa terapi apapun atau hanya dengan nasihat dan konsultasi
saja. Namun diantara mereka akhirnya ada yang membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan medik yang
lain karena keluhannya semakin parah. Tujuan terapi pada pasien hiperplasia
prostat adalah memperbaiki keluhan miksi, meningkatkan kualitas hidup,
mengurangi obstruksi infravesika, mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi
gagal ginjal, mengurangi volume residu urin setelah miksi dan mencegah
progresifitas penyakit. Terapi yang dapat dilakukkan adalah sebagai berikut:
a. Watchful waiting,
pilihan tanpa terapi untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7 yaitu keluhan
ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien hanya mendapatkan
informasi yang dapat memperburuk keluhan seperti jangan minum alkohol dan kopi
setelah makan malam, kurangi konsumsi makanan atau minuman yang dapat
mengiritasi buli-buli (kopi atau cokelat), batasi minum obat influenza yang
mengandung fenilpropanolamin, kurangi makanan pedas asin, dan jangan menahan
kencing terlalu lama.
b. Medikametosa,
tujuan medikametosa antara lain: (1)
mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab
obstruksi infravesika dengan obat penghambat adrenergik alfa, (2) mengurangi volume prostat sebagai komponen
statik dengan cara menurunkan kadar hormon testosteron atau dihidotestosteron
(DHT) melalui penghambat 5α-reductase.
c. Pembedahan,
menurut Sjamsuhidajat (2010, p.331)
pembedahan merupakan tindakan pengobatan yang menggunakan cara invasif dengan
membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani. Pembedahan umumnya
dilakukan penyayatan untuk membuka bagian tubuh, setelah itu dilakukan
perbaikan yang diakhiri dengan penutupan jahitan luka yang menimbulkan masalah nyeri. Menurut Purnomo
(2011, p.135) penyelesaian masalah pasien hiperplasia prostat jangka panjang
yang paling baik saat ini adalah pembedahan medis, karena terapi obat dan
terapi non invasif lainnya membutuhkan waktu lama untuk melihat hasil terapi.
Pembedahan prostat direkomdasikan pada pasien yang tidak menunjukkan perbaikan
dalam medikamentosa, mengalami retensi urin, infeksi saluran kemih, hematuria,
gagal ginjal dan penyulit lainnya. Hal ini dapat dilakukkan dengan:
1) Pembedahan
Prostatektomi Terbuka
Pembedahan
ini dilakukan untuk prostat yang berukuran besar (>100 gram) dengan metode Millin yaitu melakukan enuklerasi
kelenjar prostat melalui pendekatan retropubik infavesika, Freyer melalui pendekatan suprapubik transvesika atau
transperineal.
2) Pembedahan
Endourologi
Pembedahan
ini banyak dilakukan dengan tenaga elektrik yaitu : a) TURP (Transurethal Resection
of the Prostate) dengan menggunakan cairan non ionic sebagai irigan
(pembilas) agar daerah yang direseksi tetap terang, tidak tertutup oleh darah
dan tidak ada hantaran listrik saat pembedahan, b) TIUP ( Transuerthal Insivon
of the Prostate) yaitu pembedahan insisi pada kelenjar prostat yang belum
terlalu besar, c) BNI (Bladder Neck Incision) yaitu pembedahan
pada leher buli-buli, d)
Elektrovaporisasi Prosstat, yaitu dengan roller ball spesifik dan mesin diatermi yang cukup kuat untuk
membuat vaporisasi kelenjar prostat, d) Laser
Prostatektomi yaitu menggunakan energi laser Nd:YAG, Holmium:YAG, KTP:YAG,
dan diode.
d. Tindakan invasif minimal,
tindakan ini ditujukan untuk pasien yang mempunyai resiko tinggi terhadap
pembedahan seperti: Termoterapi, Transurethral Needle Ablation of the Prostate
(TUNA), pemasangan stent
(prostacath), High Intensity Focused Ultrasound
(HIFU), dan diatasi dengan Transurethral
Tallon Dilatation (balon).
B.
Konsep
Nyeri Akut Post Operasi BPH
Nyeri
akut merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat
adanya kerusakan jaringan yang aktual atau potensial, atau digambarkan dengan
istilah seperti (International Association for Study of Pain); awitan yang
tiba-tiba atau perlahan dengan intensitas ringan sampai berat dengan akhir yang
dapat diantisipasi atau dapat diramalkan dengan durasinya kurang dari enam
bulan (Herdman, 2015, p.469). Nyeri akut terjadi setalah cedera akut, penyakit,
atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas yang
bervariasi (ringan sampai berat) dan berlangsung untuk waktu singkat (Potter
dan Perry 2006, p.1510). Menurut Potter dan Perry (2006, p.1511) terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi nyeri yaitu usia, jenis kelamin, kebudayaan,
perhatian, ansietas, keletihan, dan dukungan keluarga atau sosial.
Nyeri
akut post operasi BPH terjadi setelah dilakukan pembedahan dimana terjadi
iritasi mukosa kandung kemih atau terputusnya jaringan sehingga merangsang
saraf diameter kecil menuju aferen yang mengakibatkan nyeri. Mekanisme nyeri
akut tersebut memiliki ciri khas yang terjadi karena luka pada jaringan yang
diperparah oleh sensitiasi sistem saraf perifer maupun sistem saraf sentral,
yaitu intensitas nyeri berubah sesuai dengan proses peradangan, penyembuhan,
trauma dan gerakan (Nursalam, 2009, p.142). Batasan karakteristik dari nyeri
akut yaitu pasien mengeluh nyeri dengan menggunakan standar instrumen nyeri
maupun standar skala nyeri, perubahan pola tidur, perubahan posisi untuk
menghindari nyeri, ekspresi wajah nyeri, perubahan selera makan, sikap
melindungi area nyeri, perilaku distraksi, perubahan pada parameter fisiologi,
dilatasi pupil, fokus pada diri sendiri. Faktor yang berhubungan dengan nyeri
akut adalah agen injuri fisik (pembedahan, trauma, luka bakar, amputasi,
abses), agen injuri biologis (infeksi, iskemia, neoplasma), agen injuri kimiawi
(luka bakar, kapsaisin, metilen klorida, agens mustard) (Herdman, 2015, p.469).
Menurut
Koizer (2011, p.701) banyak metode yang digunakan untuk menilai nyeri antara
lain : Wong Beker FACE Rating Scale, Skala nyeri numerik.
Gambar
2.2. Wong Beker FACE Rating Scale
Keterangan
:
0:
Tidak sakit 3-4: Agak
mengganggu 7-8: Sangat mengganggu
1-2:
sedikit sakit 5-6: Mengganggu
aktivitas 9-10: Tak tertahan
Gambar
2.3. Skala Numerik
Keterangan
:
0:
Tidak nyeri 1-3: Nyeri ringan 4-6 : Nyeri sedang
7-9 : Nyeri berat terkontrol 10: Nyeri sangat hebat
C.
Pengelolaan
Nyeri Akut pada Post Operasi BPH
Menurut
Potter dan Perry (2006, p.1515) pengelolaan keperawatan pasien nyeri akut
dilakukukan dengan pendekatan penatalaksanaan nyeri secara sistematis sehingga
dapat memahami nyeri yang dirasakan klien dan dapat memberikan terapi yang
sesuai. Keberhasilan penatalaksanaan nyeri akut tergantung pada terbinanya
hubungan positif antara petugas kesehatan, klien dan keluarga. Cakupan
penatalaksanaan nyeri akut bukan hanya sekedar berupaya untuk menghilangkan
nyeri, tetapi menekankan pada upaya untuk meningkatkan kualitas hidup klien dan
kemampuan untuk bekerja secara produktif, sehingga berfungsi secara normal
dalam keluarga dan masyarakat.
Menurut Wilkinson dan Ahern (2012,
p.531) pengelolaan keperawatan nyeri
akut post operasi pembedahan dilakukan dengan kolaborasi terutama pemberian
analgetik untuk meredakan nyeri yang dirasakan pasien. Intervensi keperawatan
yang dilakukan adalah mengajarkan pasien untuk melakukan manajemen nyeri secara
mandiri seperti teknik relaksasi tarik nafas panjang saat terjadi nyeri, terapi
musik, terapi distraksi, terapi bermain aktivitas, kompres hangat atau dingin.
D.
Asuhan
Keperawatan Nyeri Akut pada Post Operasi BPH
1.
Pengkajian
Menurut
Kozier (2011, p.357) pengkajian dilakukan dengan wawancara atau anamnesa untuk
mendapatkan data subjektif dan data objektif
, serta pemeriksaan fisik yang meliputi:
a. Data
biografi
Data
biografi meliputi nama, alamat, usia, jenis kelamin, status perkawinan,
pekerjaan, agama, pembiayaan dari klien.
b. Keluhan
utama
Keluhan
yang paling dirasakan klien saat ini yaitu nyeri akut.
c. Riwayat
penyakit saat ini
Keluhan
nyeri yang dirasakan saat ini dengan pengkajian nyeri (P: Provokasi atau
penyebab, Q: Kualitas, R: Region, S: Skala, T: Timing).
d. Riwayat
masa lalu
Riwayat
penyakit yang dialami saat masa kecil atau masa lalu, imunisasi, alergi,
kecelakaaan, riwayat hospitalisasi dan medikasi.
e. Riwayat
penyakit keluarga
Riwayat
kesehatan keluarga yang menurun seperti penyakit yang diturunkan oleh anggota
keluarga.
f. Gaya
hidup
Kebiasaan
klien, diet, pola tidur, pola aktivitas sehari-hari, rekreasi.
g. Data
sosial
Hubungan
dengan keluarga, teman, tetangga, dan masyarakat.
h. Pemeriksaan
Fisik
Menurut Koizer (2010, p.715)
pengkajian kesehatan fisik yang menyeluruh dilakukan dari kepala sampai ke
bawah secara sistematis (head to toe) yang meliputi: Survei umum, TTV, Kepala (
rambut, kulit kepala, mata, telinga, hidung, mulut, saraf kranial), Leher
(otot, kelenjar tiroid, arteri karotis, vena leher), Ekstermitas atas (kulit
dan kuku, kekuatan tonus otot, rentang gerak sendi, reflek tendon bisep,
sensasi), Dada dan punggung (bentuk dada, paru-paru, jantung, medula spinalis,
payudara dan aksila), Abdomen (kulit, bunyi abdomen, perkusi abdomen),
Genetalia, Anus dan rektum, Ekstermitas bawah.
2.
Perumusan
Masalah
Masalah keperawatan nyeri yang
sering dikeluhan pada pasien post operasi BPH adalah nyeri akut berhubungan
dengan agen injuri fisik pasca pembedahan. Diagnosa ini ditandai dengan
perilaku ekspresif (gelisah, merintih, menghela nafas panjang), perilaku
distraksi, respon autonomik, perubahan tonus otot, gangguan tidur (Wilkinson
& Ahern, 2012, p.530).
3.
Perencanaan
Menurut
Wilkinson dan Ahern (2012, p.532), NOC (Nursing
Outcome Classification) untuk nyeri akut pada pasien post operasi BPH
adalah pain level dan pain control. Tujuan setelah dilakukan
tindakan keperawatan adalah diharapkan nyeri akut dapat berkurang atau hilang,
dengan kriteria hasil yang diharapkan yaitu:
Tabel 2.1
Kriteria
Hasil dan Skala Indikator dalam Perencanaan Masalah Nyeri Akut.
|
No.
|
Indikator
|
Skala
|
|
|
Awal
|
Tujuan
|
||
|
1.
2.
3.
|
Mengenali
awitan nyeri
Menggunakan
tindakan pencegahan
Melaporkan
nyeri dapat dikendalikan
|
2
2
2
|
5
5
5
|
Skala
indikator ada 5 yaitu 1-5 (tidak pernah menunjukkan, jarang menunjukkan, kadang
menunjukkan, sering menunjukkan, dan selalu menunjukkan.
NIC
(Nursing Intervention Classification)
untuk nyeri akut pasien post operasi BPH yaitu : pain management.
a. Lakukan
pengkajian nyeri secara komperhensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.
b. Observasi
reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.
c. Bantu
keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan.
d. Kontrol
lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan
kebisingan.
e. Kurangi
faktor presipitasi nyeri.
f. Pilih
dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi dan non farmakologi).
g. Kaji
tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi.
h. Berikan
analgetik untuk mengurangi nyeri.
i. Evaluasi
keefektifan kontrol nyeri.
j. Tingkatkan
istirahat.
k. Kolaborasi
dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan
nyeri tidak berhasil.
4.
Implementasi
Menurut
Koizer (2010, p.429) implementasi adalah fase ketika perawat
mengimplementasikan intervensi keperawatan. Dari perencanaan nyeri akut
berhubungan dengan post operasi BPH yaitu NIC : pain management penulis melakukan implementasi sebagai berikut:
a. Melakukan
pengkajian nyeri dengan skala nyari dengan hasil PQRST (Provokatif, Quality,
Region, Scale, Timing).
b. Mengobservasi
reaksi nonverbal dan ketidaknyamanan.
c. Membantu
keluarga untuk mendukung proses penyembuhan klien.
d. Mengontrol
lingkungan agar pasien merasa aman, nyaman dan tenang.
e. Mengajarkan
relaksasi dan terapi non farmakologi tarik nafas dalam dan terapi musik untuk
mengurangi rasa nyeri serta memberikan terapi farmakologi sesuai terapi dokter.
f. Memberikan
kesempatan klien untuk istirahat dan tidur.
g. Mengobservasi
kembali nyeri yang dirasakan klien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
5.
Evaluasi
Menurut
Wilkinson dan Ahern (2012, p.533), kriteria evaluasi nyeri akut berhubungan
dengan post operasi BPH adalah sebagai berikut:
a. Memperlihatkan
pengendalian nyeri yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut : (skala 1 :
tidak pernah), (skala 2 : jarang), (skala 3 : kadang-kadang), (skala 4 :
sering), (skala 5 : selalu).
b. Menunjukkan
tingkat nyeri yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut : (sebutkan 1-10 :
tidak sakit, sedikit sakit, agak mengganggu, mengganggu aktivitas, sangat
mengganggu, tak terhankan): ekspresi wajah saat nyeri, gelisah atau ketegangan
otot, durasi episode nyeri, merintih, dan menangis).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar